Senin, 15 Oktober 2018

“Mendadak Caleg !”

Related image

caleg bekasi 2019 - Dengan sah Komisi Penentuan Umum Republik Indonesia (KPU RI) pada 17 Februari 2018 sudah mengambil keputusan 16 parpol jadi peserta pemilu 2019. Tidak lama berlalu, sesudah lewat proses pengadilan di Tubuh Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu) Partai Bulan Bintang (PBB) jadi peserta paling akhir yang diputuskan dengan nomor urut 19.

Surprise belumlah tuntas sampai disana, berdasarkan pembacaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta, Rabu (11/4), memerintah KPU menerbitkan Surat Ketetapan (SK) mengenai penentuan Partai Keadilan serta Persatuan Indonesia (PKPI) jadi partai politik peserta Pemilu 2019. Langsung saja, partai itu langsung mengaku sudah menyiapkan pendaftaran akan calon anggota legislatif (calon legislatif).

Mulai sejak itu, dengan resmi genderang perang ditabuh, hitung politik dihitung, serta taktik pemenangan yang sudah dirumuskan siap digelontorkan ke konsituten. Partai lama serta partai baru, sama-sama berebutan nada lebih dari 200 juta jiwa. Konsensus informal tercipta: berikut tahun politik.

Atas basic itu, sekarang mulai banyak muncul gambar, poster serta iklan di beberapa pojok kota beberapa calon anggota legislatif (calon legislatif), bahkan juga partai yang begitu digdaya di media sosial juga mengambil start pasang baliho serta banner dalam dunia riil. Sekurang-kurangnya, ini jadi tanda-tanda jika tidak ada yang terlalu menguasai di semua medan perang, baik off line ataupun online.

Catatan ciri khas yang lain yang butuh dilihat dari pemilu 2019, penentuan anggota parlemen serta presiden berjalan serentak dalam tempo yang bertepatan. Berlainan dengan pemilu awal mulanya, untuk pilpres formulasi pasangan calon Presiden serta Wakil Presiden diperkirakan seputar dua serta optimal tiga pasangan calon. Sedang pada saat yang bertepatan masyarakat akan pilih beberapa puluh ribu calon anggota legislatif, untuk lalu jadi legislator di pusat ataupun daerah. Anggota DPR serta DPRD Propinsi/kab/kota selanjutnya bisa menjadi muka sah parpol dalam etalase demokrasi saat lima tahun ke depan.

Petugas Satpol PP membuka paksa Alat Peraga Kampanye (APK) akan calon anggota legislatif (bacacaleg) di selama Jalan Nasional Medan-Banda Aceh di Kabupaten Aceh Timur, Aceh, (Contoh).

Seperti kita memahami, beberapa calon legislatif parpol tidak bebas nilai. Sekurang-kurangnya dengan niat mereka jadi calon legislatif memberikan jika mereka miliki ‘ambisi’ politik. Yang memperbedakan cuma kandungan serta derajatnya saja. Juga demikian nyatanya latar belakang beberapa calon legislatif bermacam; entrepreneur, purnawirawan, anak muda serta bahkan juga tukang ojek.

Sekurang-kurangnya dengan simpel, menunjukkan jika demokrasi sudah memberi ruangan yang sama dengan buat tiap-tiap masyarakat negara untuk diambil. Latar belakang bisa beda, tetapi motif yang ditempuh relatif sama; mencapai kekuasaan serta nikmati jabatan. Bila kita akan sinis ambil rangkuman akhir.

Sampai sekarang ini mesti disadari, alih-alih melihat diskursus ideologis sama dengan basis partai, malah kita menyimak banyak anggota dewan baik di level pusat ataupun daerah seperti mati suri dalam memperjuangkan masukan penduduk serta memberi kontrol pada kapasitas pemerintah. Senyap dalam riuh agregasi politik, akan tetapi riuh dalam menuntut sarana.

Menurut Miriam Budiardjo (2003), ada empat manfaat parpol, yakni komunikasi politik, publikasi politik, rekruitmen politik serta pengendalian perseteruan. Dalam perihal ini, penulis ingin memberi penekanan pada manfaat rekruitmen politik yang terlihat kedodoran proses dari pencalegan, tampak dari apakah yang dikerjakan oleh parpol di ‘tahun politik’ ini.

Dalam proses penyalonan anggota legislatif serta mencari pejuang ideologis partai yang akan diletakkan di Parlemen malah dikerjakan di persimpangan jalan–di tengah jalan-bukan suatu yang telah disiapkan jauh-jauh hari. Penyelenggara juga memperingatkan ini, Komisioner KPU RI Hasyim Asy'ari memperingatkan supaya partai politik dapat selektif mengangkat calon dalam penentuan legislatif yang berjalan 2019 yang akan datang.

Mengukur ketahanan ideologis di tahun politik

Ukuran proses kaderisasi yang sehat dari parpol sebenarnya dapat disaksikan pada pesta demokrasi yang akan diselenggarakan, sekurang-kurangnya kita dapat lihat dari kesungguhan partai selama lima tahun paling akhir mendidik serta lakukan kaderisasi untuk isi kolom kosong di nomer urut calon legislatif. Kelihatannya, keadaan itu tidak dapat baik di semua partai, dengan dalih mencari putra purti terunggul bangsa untuk berusaha bersama dengan partai mereka lakukan outsourcing politik dengan instant. Kader diketemukan di tengah jalan, bukan di awalnya perjuangan.

Faktanya proses rekruitmen calon legislatif dikerjakan bukan sekedar berdasar pada pertimbangan segi tehnis administrative serta subtansial partai politik. Akan tetapi ikut keperluan partai – dana - dan kehendak electoral – pemilih - . Seumpama untuk mememenuhi keterwakilan wanita 30 % wanita beberapa partai asal memasukan yang terpenting ada serta tercatat, bukan hanya sebab fakta kesetaraan gender serta keberpihakan golongan marginal. Masih tetap jauh filosofis itu.

Epik lainnya dari momen mendadak calon legislatif, parpol buka pendaftaran calon legislatif satu tahun paling akhir seperti dikejar setoran. Mengakibatkan, pasti buka kesempatan cela serta seleksi yang tidak kredibel. Parpol dengan terbuka buka pendaftaran calon legislatif melalui mass media, luar ruangan, bahkan juga dalam ruangan senyap sekalinya.

Prasyarat juga diperlengkapi oleh tiap-tiap calon legislatif, tidak hanya segi administratif ikut prasyarat prinsip pertandingan prosedural: popularitas, kepopuleran serta ‘isi tas’. Satu kali lagi mahfum terdapatnya, bermunculanlah beberapa nama isi kolom kosong dari beberapa latar belakang profesi; artis, entrepreneur dan lain-lain. Tidak dapat disangkal, beberapa dari mereka semua pemula politik. Dengan bekal ‘euphoria’ membela rakyat, mereka masuk rimba belantara politik.

Sampai kini, ada tiga ‘rumus penting’ dalam proses pencalegan, yakni modal politik, modal sosial, serta modal ekonomi. Seolah ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tetapi, faktanya jika ‘rumus’ itu tidak selama-lamanya benar, masih tetap ada-ada saja calon legislatif yang lalu jadi anggota dewan dengan beberapa cara yang ‘normal’. Walau banyaknya sedikit. Menjadi catatan dalam periode keanggotaan DPR 2014-2019 sudah dipilih 560 (lima ratus enam puluh) wakil rakyat yang duduk di DPR RI, datang dari 77 Daerah Penentuan (Dapil). Anggota Dewan yang dipilih bekerja mewakili rakyat saat 5 (lima) tahun, terkecuali buat mereka yang tidak dapat mengakhiri waktu jabatannya.

Nyatanya, mereka dipilih jadi ‘juara’ dari dapilnya dengan bermacam karena, tidak hanya sebab popularitas serta isi tas yang sampai kini jadi anggapan umum serta hukum linier penentuan umum. Tetapi, sebab kecerdasan dalam bangun personal branding, membuat difrensiasi serta memastikan positioning yang pas.

Buktinya cukuplah banyak anggota DPR RI yang berpengalaman tampil di alat, nyatanya tidak dipilih di pemilu. Juga anggota yang populer begitu kaya ikut tidak dipilih. Di titik ini, kita masih tetap dapat dikit menghela napas, jika seorang dipilih tidak hanya sebab modal finansial serta popularitas, akan tetapi ikut sebab modal sosial serta politik yang sudah dikumpulkan demikian lama. Dikemas dalam pendekatan komunikasi serta marketing politik yang ciamik. Di lain sisi kita ikut diuntungkan dengan mulai terdapatnya geliat pemilih pintar yang belum pernah sepi dari hiruk pikuk pemilu.

0 komentar:

Posting Komentar